Sesuai judulnya, novel ini lebih banyak bercerita tentang Saman atau
Wisanggeni. Wisanggeni adalah seorang pastor di Prabumulih yang kemudian
memutuskan untuk meninggalkan kepastorannya demi membantu masyarakat
Lubukrantau keluar dari kemiskinan. Adalah Upi, wanita gila yang
ditolongnya ini dipasung oleh orang tuanya dalam bilik bambu yang tidak
layak bagi seorang manusia yang membuatnya memutuskan kembali ke desa
tersebut untuk membuatkan tempat yang lebih layak bagi Upi.
Kisah tentang Saman ini agak membosankan di awal cerita, di mana penulis menceritakan Saman dari sejak balita. Ada satu cerita yang menarik adalah tentang janin yang tiba-tiba lenyap dari rahim Ibunya Saman, bahkan dua kali. Saya jadi teringat kisah sekuriti di tempat saya bekerja sekarang, istrinya mengalami hal serupa, dan saya tidak terlalu menanggapi karena saya agak kurang percaya dengan hal-hal yang tidak bisa dijangkau dengan logika saya. Setelah membaca kisah ini, besoknya saya menghubungi beliau dan menggali informasi tentang hal tersebut. Hehe malah curhat :p
Kisah tentang Saman ini agak membosankan di awal cerita, di mana penulis menceritakan Saman dari sejak balita. Ada satu cerita yang menarik adalah tentang janin yang tiba-tiba lenyap dari rahim Ibunya Saman, bahkan dua kali. Saya jadi teringat kisah sekuriti di tempat saya bekerja sekarang, istrinya mengalami hal serupa, dan saya tidak terlalu menanggapi karena saya agak kurang percaya dengan hal-hal yang tidak bisa dijangkau dengan logika saya. Setelah membaca kisah ini, besoknya saya menghubungi beliau dan menggali informasi tentang hal tersebut. Hehe malah curhat :p
Selain itu saya juga tertarik dengan pandangan empat orang sahabat
yang berbagi peran dalam novel ini; Shakuntala, Yasmin dan Cok pada
hubungannya bersama lawan jenis, yang bisa dibilang tidak sesuai dengan
adat ketimuran. Tapi sesuai dengan segala hal yang melatarbelakanginya.
Namun diimbangi dengan Laila, yang tetap mempertahankan virginitasnya
yang hanya akan ia berikan kepada orang yang tepat. Tepat bagi Laiala,
tetapi perlu diketahui ia mencintai Sihar yang telah menikah dan
memiliki anak.
Banyak isu-isu yang bisa diambil hikmahnya dan menggelitik rasa
empati kita dari kisah Saman ini. Sebuah kecelakaan kerja di pengeboran
minyak (yang bahkan menjadi awal mula dari semua peristiwa di novel ini)
membuktikan bahwa pemahaman dan implementasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di negara kita masih
lemah bahkan hingga saat ini, kalau pun ada perubahannya baru sedikit sekali.
Kesewenang-wenangan aparat terhadap kaum miskin (selalu orang miskin),
hukum yang diperjualbelikan, juga para birokrat korup.
Juga orang-orang seperti Saman, yang memperjuangkan keadilan dan
hak-hak rakyat miskin, seringkali bernasib tidak baik. Kalau enggak jadi
buronan dan terasing di negeri orang, mati diracun, hilang entah
kemana, atau di bui dengan dipaksakan. Kita bisa menyebutkan beberapa
diantaranya, Wiji Thukul, Munir, dan sebagainya.
Dalam cerita yang beganti-ganti PoV (point of view). Dari Laila
berganti, Saman, lalu shakuntala, juga Yasmin dan Cok. Saya sempat agak
bingung saat PoV berpindah ke shakuntala setelah sebelumnya Laila lebih
banyak diceritakan sehingga saya beberapa kali harus mengulang,
mengenali karakternya.
Untuk diksi, saya kurang suka dengan diksi yang kasar. Mungkin belum
terbiasa. Novel ini tentu tidak kasar secara keseluruhan (saat PoV
Laila), hanya saja ada bagian-bagian dalam cerita yang disampaikan cukup
vulgar.
Overall, saya cukup puas membaca novel cetakan ke-32 yang
direkomendasikan oleh Kirana ini, telat memang, oh iya ini novel dewasa,
jadi bagi kalian yang belum pernah mimpi basah diharapkan tidak
membacanya, eh apa dianjurkan? Hihi. Sekian
Judul buku : Saman
Pengarang : Ayu Utami
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : September 2014 (Cetakan ke-32)
Dimensi : 205 halaman, 13,5 cm x 20 cm
ISBN : 978-979-91-0570-7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terima kasih sudah berkunjung. :)