Sabtu, 24 Januari 2015

[Review Buku] Canting

Judul Buku: Canting
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Identitas: Cetakan keempat, Juli 2013, 376 hlm: 20 cm
ISBN: 978-979-22-9623-5



Canting, cara tembaga untuk membatik, bagi buruh-buruh batik menjadi nyawa. Setiap saat terbaik dalam hidupnya, canting ditiup dengan napa dan perasaan. Tapi batik yang dibuat dengan canting kini terbanting, karena munculnya jenis printing—cetak. Kalau proses pembatikan lewat canting memerlukan waktu berbulan-bulan, jenis batik cetak ini cukup beberapa kejap saja.

Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Adalah Ni—sarjana farmasi, calon pengantin, putri Ngabean—yang mencoba menekuni, walau harus berhadapan dengan Pak Bei, bangsawan berhidung mancung yang perkasa: Bu Bei, bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses.

Canting, yang menjadi cap batik Ngabean, tak bisa bertahan lagi. “Menyadari budaya yang sakit adalah tidak dengan menjerit, tidak dengan mengibarkan bendera.” Ni menjadi tidak Jawa, menjadi aeng—aneh, untuk bisa bertahan. Ni yang lahir ketika Ki Ageng Suryamentaram meninggal dunia, adalah generasi kedua, setelah ayahnya yang berani tidak Jawa.

Saat melihat buku ini, saya kira ini adalah buku tutorial membuat batik, karena melihat covernya dengan desain motif batik dan canting. Tetapi setelah mendapati adanya nama Pakde Arswendo Atmowiloto, buru-buru saya beli karena sebelumnya pernah direkomendasikan oleh seorang teman untuk membaca karya beliau.

Novel yang menceritakan sebuah keluarga Ngabehi (sebutan gelar bagi bangsawan Jawa) yang dapat hidup oleh usaha batik dari masa sebelum dan sesudah Kemerdekaan Indonesia. Usaha batik cap Canting menjadi saksi perubahan zaman seperti blurb di atas. Bagaimana usaha batik menggunakan canting akan kalah oleh usaha batik menggunakan printing. Mereka adalah keluarga besar yang memiliki tradisi Jawa  yang sempurna: Begitu banyak aturan, tapi selalu terlaksana dengan baik. Pak Bei yang sejak awal terkesan membudaki istrinya sendiri, Bu Bei, memiliki banyak keistimewaan yang tak disangka.

Pak Bei adalah orang tegas, berwatak keras, angkuh, dan otaknya selalu memberi keputusan spontan, tanpa pikir panjang. Karakter angkuh pada sosok Pak Bei sangat tergambar jelas, seperti salah satu dialog yang ia lakukan di halaman 120

“Pemberian yang besar, hanya sekali saya lakukan. Sesudah itu terserah kalian. Harus bisa berusaha sendiri. Sebisanya.
“Kalau kalian akan mati kelaparan, saya akan membawa nasi dan menjejalkan ke mulut kalian. Kalau kalian telanjang, saya akan bawa kain membalut tubuh kalian. Kalau kalian akan mati, saya akan membelikan peti mati. Tapi tidak untuk tetek bengek membeli sepeda, mengecat rumah, atau membayar utang. Ini semua saya lakukan karena saya ingin melakukan. Bukan karena kalian adik-adikku. Pada orang lain yang saya kenal pun akan saya lakukan hal yang sama.
“Saya tak ingin dipuji. Kalau memuji, jangan sampai saya mendengar.
“Saya tak takut dicaci. Kalau mencaci, jangan sampai saya mendengar. Saya dilahirkan dengan telinga yang kecil dan tipis kulitnya, tak bisa mendengar hal-hal seperti itu.”

Lain lagi dengan Bu Bei. Ia seorang istri yang lembut, polos, dan selalu berbakti kepada Pak Bei. Namun, wanita ini juga bisa menunjukkan dunia wanita yang sesungguhnya. Ia bisa menjadi direktur, menejer, pelaksana yang sigap, yaitu ketika di pasar, tepatnya di kios batik milik sendiri. Sebab, pasar bagi kaum wanita adalalah karir. Bu Bei mendapat kebebasan luar biasa ketika di pasar.

Pak Bei adalah sosok yang sangat misterius. Dehemnya, senyumnya, cibiran bibirnya, diamnya, gerakan tubuhnya, pokonya semuanya terlamapau misterius. Dan saya, suka sekali pada tokoh Pak Bei ini. Banyak hal yang tidak saya duga dari awal pada sosok Pak Bei. Hal yang tidak saya duga itulah yang akhirnya membuat saya kagum pada Pak Bei ini.

Si penulis menceritakan banyak konflik yang beragam mengengenai orang-orang yang berada dalam ruang lingkup keraton, yang merasa diriya tidak kapitalis, tidak feodal, tidak borjuis. Tentang orang yang melawan tanpa mengerti apa yang dilawan. Orang-orang yang muak dengan adat Jawa, padahal tidak tahu Jawa yang sesungguhnya. Novel ini banyak bertutur dari mulai sikap, sudut pandang, sampai kepercayaan atau mitos-mitos Jawa. Seperti sang suami akan mencarikan pisang raja yang dalam satu sisir buahnya hanya satu, lalu pisang itu akan dimakan istrinya agar bisa hamil.

Melihat cara bercerita Pakde Arswendo, mengingatkan saya pada tulisan-tulisan fiksi milik Om Nano Riantiarno, seorang dramawan sekaligus pendiri teater koma di Jakarta yang juga menerbitkan buku-buku fiksi sastra. Cara bercerita Pakde Arswendo dan Om Nano Riantiarno sama: tidak terbilang basa-basi dan di setiap kalimatnya tidak terlalu panjang, para pembaca tidak akan dibuat ngos-ngosan ketika membaca narasi.

1 komentar:

Silahkan tinggalkan komentar. Terima kasih sudah berkunjung. :)